Buddhisme dan orientasi seksual

Bendera Buddhis yang melambangkan warna aura Sang Buddha dan bendera pelangi (LGBT). Bendera Buddhis melambangkan simbol universal Buddhisme dan bendera pelangi melambangkan simbol kebanggaan orientasi seksual. Apa pun orientasi seksualnya, seseorang tetap dapat berusaha mencapai Kebuddhaan.
Bagian dari seri tentang
Buddhisme
  • Sejarah
  • Penyebaran
Buddhisme awal
Benua
Populasi signifikan
Theravāda
Mahāyāna-Vajrayāna
Kitab daring
  • SuttaCentral
  • Chaṭṭha Saṅgāyana Tipiṭaka
  • dhammatalks.org
  • 84000
  • NTI Reader - Taishō
  • Buddha penting sebelumnya:
  • Dīpaṁkara
  • Vipassī
  • Sikhī
  • Vessabhū
  • Kakusandha
  • Konāgamana
  • Kassapa
  • Bawahan:
  • Dewa
  • Brahma
Mahāyāna-Vajrayāna
  • Budaya
  • Masyarakat
  •  Portal Buddhisme
  • l
  • b
  • s

Hubungan antara agama Buddha dan orientasi seksual berbeda-beda menurut aliran, tradisi, dan guru. Menurut beberapa ahli, Buddhisme awal dan beberapa cabang aliran Theravāda tampaknya tidak memberikan stigma khusus terhadap hubungan homoseksual, karena topiknya tidak dijelaskan secara khusus dalam kitab suci.[1]

Kemungkinan besar, aliran-aliran Mahāyāna yang lahir dari Buddhisme Tionghoa dipengaruhi oleh norma Konfusianisme (Kong Hu Cu) yang melarang pernikahan homoseksual. Tidak seperti Konfusianisme, pernikahan sering kali dianggap sebagai urusan nonreligius dalam agama Buddha.[2]

Buddhisme menekankan latihan empat keadaan batin yang luhur (brahmavihāra), yaitu cinta kasih (mettā), welas asih atau belas kasihan (karuṇā), turut-berbahagia atau kegembiraan simpatik (mudita), dan keseimbangan batin (uppekkhā) terhadap semua makhluk tanpa terkecuali, termasuk mereka yang orientasi seksualnya tergolong minoritas. Kebencian terhadap makhluk apa pun tidak dibenarkan.

Aliran Theravāda

Sejarah

Buddhisme Theravāda umumnya lebih menoleransi seks homoseksual daripada seks heteroseksual. Tripitaka Pali secara eksplisit menyebutkan bahwa praktik seksual pada umumnya dilarang dalam aturan monastik (bagi para bhikkhu), namun seks yang bersifat homoseksual akan menerima hukuman yang lebih ringan hingga pada titik di mana jenis seks homoseksual tertentu hanya memerlukan pengakuan dan tidak ada hukuman. Aturan ini ditulis di pulau Alengka pada tahun 29 SM dan hanya berlaku untuk bhikkhu, tetapi tidak untuk masyarakat umum.[3][4][5][6][7] Terjemahan kitab Āgama, kumpulan kitab yang paralel dengan Nikāya dalam Tripitaka Pāli, dalam bahasa Tionghoa Klasik juga tidak menentang hal ini. Umat ​​awam hanya diminta untuk menghindari hubungan seks dengan kelompok masyarakat tertentu (di bawah umur, sudah menikah, bhikkhu, nonkonsensual, dll...).[8][9][10] Hal ini semakin didukung dengan dihilangkannya homoseksualitas dalam daftar pelanggaran seksual yang disusun dalam Upāsakajanalankara abad ke-14, yang ditulis di Sri Lanka pada abad ke-14 dan kembali berpengaruh pada zaman kerajaan Kandyan abad ke-17.[11][12][13]

Dalam sutta atau kumpulan diskursus awal agama Buddha, "perilaku seksual manusia yang diterima atau tidak diterima" bagi orang awam "tidak disebutkan secara spesifik". "Pelanggaran seksual" adalah istilah yang luas, yang dapat ditafsirkan sesuai dengan norma sosial pengikutnya. Agama Buddha awal nampaknya tidak banyak berkomentar soal hubungan homoseksual.[14]

Menurut Tripitaka Pāli dan Āgama (kitab suci Buddhis awal dari aliran lainnya), tidak disebutkan secara spesifik bahwa hubungan sesama jenis atau lawan jenis secara inheren ada hubungannya dengan pelanggaran seksual,[9] dan beberapa bhikkhu Theravada menyatakan bahwa hubungan sesama jenis tidak melanggar aturan yang harus dihindari. Seseorang tidak memenuhi pelanggaran seksual jika tidak melakukan hubungan seks dengan seseorang di bawah umur (yang dilindungi oleh orang tua atau walinya), seseorang yang sudah bertunangan atau menikah, dan yang telah mengucapkan kaul selibat secara agama.[10]

Kitab-kitab masa awal

Buddha sering digambarkan sebagai sosok laki-laki, seperti dalam lukisan dari sebuah wihara di Laos ini.

Dalam teks-teks monastik paling awal seperti Vinaya (c. abad ke-4 SM), para bhikkhu secara eksplisit dilarang melakukan hubungan seksual dengan salah satu dari empat jenis kelamin: laki-laki, perempuan, ubhatovyañjanaka, dan paṇḍaka; berbagai arti dari kata-kata ini diberikan di bawah ini. Belakangan, Sang Buddha mengizinkan penahbisan wanita sebagai bhikkhuṇī dan melarang penahbisan untuk ubhatovyañjanaka dan beberapa jenis paṇḍaka.[15] Larangan Buddha terhadap tipe orang tertentu untuk bergabung dengan Saṅgha (komunitas yang ditahbiskan) sering kali dipahami sebagai cerminan kepedulian Beliau dalam menjunjung tinggi citra publik Saṅgha sebagai orang yang berbudi luhur; dalam beberapa kasus, hal ini dinyatakan secara eksplisit. Penerimaan sosial sangat penting bagi Saṅgha, karena Saṅgha tidak dapat bertahan tanpa dukungan materi dari masyarakat awam.[16]

Ubhatovyañjanaka

Kata ubhatovyañjanaka biasanya dianggap menggambarkan orang yang memiliki ciri-ciri seksual laki-laki dan perempuan: hermafrodit[17] (interseks). Dalam Vinaya, dikatakan bahwa ubhatovyañjanaka tidak boleh ditahbiskan, karena kemungkinan mereka akan membujuk sesama bhikkhu atau bhikkhuṇī untuk melakukan hubungan seks.[18] Meskipun beberapa ahli telah menyadari bahwa kategori ubhatovyañjanaka merupakan kategori tambahan di kemudian hari dalam teks-teks Buddhis awal, karena kategori ini tidak muncul dalam sutta-sutta awal, kitab Pāṭimokkha, maupun bagian awal Vinaya.[19]

Paṇḍaka

Paṇḍaka adalah kategori kompleks yang didefinisikan secara beragam dalam berbagai teks Buddhis. Dalam teks-teks paling awal, kata tersebut tampaknya merujuk pada kelompok trans-feminin dan/atau orang-orang yang berpenampilan silang (cross-dressing) yang mendapat stigma sosial, dan beberapa di antaranya mungkin adalah pekerja seks.[20][21] Paisarn Likhitpreechakul berpendapat bahwa orang-orang ini dikelompokkan bersama dengan kelompok yang juga dikecualikan dari penahbisan; mereka yang memiliki disabilitas fisik seperti tuli atau dwarfisme, atau mereka yang pernah melakukan kejahatan.[22] "Kisah Larangan Penahbisan Pandaka" dari kitab Vinaya menyatakan bahwa larangan tersebut merupakan tanggapan terhadap contoh seorang bhikkhu paṇḍaka yang memiliki keinginan untuk berhubungan seks. Oleh karena ditolaknya ajakan tersebut oleh para bhikkhu lain, ia berhubungan seks dengan para pawang hewan, yang kemudian menceritakannya kepada masyarakat luas dan mempermalukan Saṅgha.[23][24] Fakta bahwa kata paṇḍaka tidak pernah muncul, baik dalam sutta-sutta awal maupun dalam bagian-bagian awal Vinaya, menunjukkan bahwa ditambahkannya kata paṇḍaka ke dalam daftar aturan dalam kitab Vinaya tidak terjadi pada masa hidup Sang Buddha, tetapi ditambahkan di kemudian hari.[25]

Kitab Milindapañha aliran Theravāda, mengklaim bahwa paṇḍaka membocorkan rahasia melalui ketidaksempurnaan mereka.[26][27]

Kitab-kitab komentar

Beberapa komentator modern menafsirkan bahwa kata ubhatovyanjañaka termasuk mereka yang tidak interseks secara fisik, tetapi tetap menunjukkan karakteristik perilaku dan psikologis dari kedua jenis kelamin, seperti wanita yang tertarik pada wanita lain.[28] Penulis kitab komentar abad ke-5, Buddhaghosa, menggambarkan ubhatovyanjañaka sebagai orang yang memiliki tubuh berjenis kelamin satu tetapi memiliki "kekuatan", atau gender yang lain. Leonard Zwilling berpendapat bahwa Buddhaghosa sebenarnya bukan menggambarkan "hermafroditisme" tetapi biseksualitas atau homoseksualitas.[29] Janet Gyatso menunjukkan bahwa Zwilling melawan argumennya sendiri dengan mengatakan bahwa paṇḍaka adalah homoseksual ketika dia menulis, "Vinaya, pada kenyataannya, sampai membedakan aktivitas seksual laki-laki normatif dari hubungan seksual antara laki-laki yang normatif secara sosial dengan seorang paṇḍaka."[30]

Dalam teks lain, istilah paṇḍaka dapat mencakup mereka yang lahir dengan kondisi seksual yang tidak dapat ditentukan atau tidak memiliki jenis kelamin, kasim, mereka yang impotensinya berubah setiap setengah bulan, laki-laki yang memperoleh kepuasan seksual dengan meminum air mani laki-laki lain, atau memata-matai orang lain yang sedang berhubungan seks. Kadang-kadang, definisinya juga mencakup laki-laki atau perempuan dengan disfungsi seksual, seperti impotensi atau siklus menstruasi yang tidak teratur. Secara umum, merujuk kepada mereka yang seksualitasnya terbatas secara fisiologis, atau mereka yang impoten secara seksual. Tipe-tipe impotensi demikian hampir selalu digambarkan secara negatif sebagai kelas sosial paria atau rendah, terutama dalam teks-teks paling awal. Dalam konteks modern, paṇḍaka terkadang juga dianggap mencakup kaum lesbian, laki-laki honoseksual, serta kaum transgender dan interseks,[31][32][30] meskipun pada zaman dahulu, laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki lain atau seorang paṇḍaka tidak dianggap sebagai paṇḍaka.[33]

Beberapa teks Abhidharma menyatakan bahwa seorang paṇḍaka tidak dapat mencapai kecerahan dalam kehidupannya saat ini, mereka harus menunggu terlahur kembali sebagai laki-laki atau perempuan. Ananda—sepupu dan murid Buddha—diceritakan pernah menjadi paṇḍaka di salah satu dari banyak kehidupan sebelumnya, seperti halnya bhikkhuṇī Isidāsī (dari kitab Therīgāthā).[34] Dalam kedua kasus tersebut, kelahiran sebagai paṇḍaka adalah akibat dari karma buruk, dan gagasan bahwa menjadi paṇḍaka berasal dari perilaku buruk di kehidupan sebelumnya adalah hal yang umum dalam literatur Buddhis.[35]

Dalam Samantapasadika, sebuah karya komentator Theravāda abad ke-5, Buddhaghosa, paṇḍaka digambarkan sebagai orang yang dipenuhi dengan nafsu yang mengotori (ussanakilesa), nafsu yang tak terpadamkan (avapasantaparilaha) dan didominasi oleh libido mereka (parilahavegabhibhuta). Meskipun demikian, Buddhaghosa tidak melarang semua jenis paṇḍaka untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu; "āsittapaṇḍaka" diizinkan untuk bergabung dalam Saṅgha. Khususnya, "āsittapaṇḍaka" adalah laki-laki yang memperoleh "kepuasan dengan melakukan seks oral pada laki-laki lain". Oleh karena itu, tampaknya tidak ada pelarangan penahbisan terhadap paṇḍaka homoseksual oleh Buddhaghosa.[36]

Peter Jackson, pakar politik seksual dan agama Buddha di Thailand, berspekulasi bahwa Sang Buddha pada awalnya enggan mengizinkan perempuan bergabung dengan Saṅgha karena Sang Buddha berusaha menjaga citra publik Saṅgha agar dapat tetap bertahan di tengah masyarakat. Jackson menjelaskan:

Agama Buddha, Jalan Tengah, selalu peduli dengan pemeliharaan tatanan sosial. Sejak zaman Buddha, Saṅgha tidak pernah mengklaim menyediakan "kendaraan" universal bagi pembebasan spiritual semua individu dalam masyarakat, secara eksplisit mengecualikan mereka yang dianggap mencerminkan keburukan dalam ke-bhikkhu-an, dalam kaitannya dengan norma dan sikap sosial yang berlaku di masyarakat.[37][38]

Penerimaan sosial sangat penting bagi Saṅgha, karena Saṅgha tidak dapat bertahan tanpa dukungan materi dari masyarakat awam.[37]

Beberapa teks Buddhis Theravāda menyatakan bahwa paṇḍaka tidak diperbolehkan atau tidak mampu mengikuti berbagai praktik Buddhis (selain penahbisan keanggotaan monastik):

  • bertindak sebagai pembimbing dalam upacara penahbisan[39]
  • memberikan derma kepada para bhikkhu yang sedang piṇdapāta[39]
  • bermeditasi, dan[40]
  • memahami Dhamma.[41]

Masa modern

Peter Jackson, seorang sarjana politik seksual dan agama Buddha asal Australia di Thailand, menulis bahwa "Agama Buddha adalah tradisi yang kompleks dan tidak ada satu pun posisi yang dikanonisasikan atau disetujui secara kanonis mengenai homoseksualitas."[42] Thailand adalah salah satu dari beberapa negara dengan populasi penganut Buddha aliran Theravāda terbesar.

Dalam kisah seksualitas Buddhis tradisional Thailand, "tindakan dan hasrat [seksual] mempunyai sebab yang tidak disengaja [dan] tidak menimbulkan buah karma apa pun di masa depan. Tindakan dan hasrat tersebut merupakan akibat dari karma masa lalu, bukan sumber akumulasi untuk buah karma masa depan. Menurut Bunmi, aktivitas homoseksual dan keinginan untuk melakukan aktivitas homoseksual termasuk dalam kategori ini dan bukan merupakan suatu kejahatan, serta tidak menimbulkan buah karma."[42] Jackson menulis bahwa pemahaman tentang homoseksualitas tersebut "berlaku di Thailand hingga beberapa dekade terakhir."[42]

Pada tahun 1980-an di Thailand, selama epidemi AIDS, terjadi "pergeseran sikap Buddhis dari yang relatif toleran terhadap homoseksualitas menjadi penghukuman." Pandangan ini "belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Thailand saat ini."[42] Pada masa ini, ada dua cara umat Buddha memandang homoseksualitas: dalam pandangan simpatik, dikatakan bahwa homoseksualitas muncul sebagai akibat karma kehidupan sebelumnya; dalam pandangan intoleran, hal itu dipandang sebagai akibat dari perbuatan asusila dalam kehidupan seseorang saat ini.[42]

Pada tahun 1989, badan tertinggi Saṅgha Thailand menegaskan bahwa "orang homoseks" (di sini diterjemahkan dari bahasa Thai kathoey) dilarang untuk ditahbiskan.[43] Pernyataan mereka tampaknya tidak diindahkan oleh beberapa pihak, karena Phra Pisarn Thammapatee (AKA Phra Payom Kalayano), salah satu bhikkhu paling terkemuka di negara tersebut, pada tahun 2003, menuntut agar 1.000 bhikkhu gay dikeluarkan dari Saṅgha, dan proses penyaringan anggota yang lebih baik harus mulai diimplementasikan untuk mencegah masuknya calon bhikkhu yang termasuk kathoey.[44]

Baru-baru ini, Phra Payom Kalayano, seorang bhikkhu dan kepala biara terkemuka, menegaskan hak para bhikkhu gay untuk bergabung dengan Saṅgha: "Di masa lalu, katoey tidak punya harapan untuk ditahbiskan karena peraturannya lebih ketat dan masyarakat kurang berpikiran terbuka. Namun, mereka punya hak yang sama seperti orang lain untuk bergabung dalam Saṅgha."[45] Pandangan ini telah disetujui oleh para bhikkhu Theravāda Thailand lainnya.[46] Namun, tidak diketahui apakah pernyataan yang diberikan oleh Phra Payom itu hanya didukung oleh beberapa bhikkhu di Saṅgha-nya atau oleh struktur resmi aliran Theravāda tempatnya bernaung. Tidak ada informasi resmi tentang perubahan pandangan cabang Theravāda lainnya di Thailand terkait penahbisan LGBT karena cabang Theravāda lainnya tampaknya tidak mengubah sikap mereka terhadap persoalan ini.[47][48]

Referensi

  1. ^ James William Coleman, The New Buddhism: The Western Transformation of an Ancient Tradition. Oxford University Press 2002, page 146.
  2. ^ Fian, Andi (2 December 2022). "BUDDHISM AND CONFUCIANISM ON HOMOSEXUALITY: THE ACCEPTANCE AND REJECTION BASED ON THE ARGUMENTS OF RELIGIOUS TEXTS". Journal of Religious Studies (dalam bahasa English). Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada: Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS). 3 (2): 73–82 – via Phil. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
  3. ^ "Pali canon | Definition, Contents, & Facts". Encyclopaedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal October 7, 2015. Diakses tanggal June 15, 2024. 
  4. ^ "Homosexuality and Theravada Buddhism". Buddhazine. Diarsipkan dari versi asli tanggal April 29, 1999. Diakses tanggal June 15, 2024. 
  5. ^ "Male Homosexuality and Transgenderism in the Thai Buddhist Tradition". buddhism.lib.ntu.edu.tw. Diakses tanggal 2024-04-04. 
  6. ^ Jackson, P. A. (1995). "Thai Buddhist accounts of male homosexuality and AIDS in the 1980s". The Australian Journal of Anthropology. 6 (3): 140–153. ISSN 1035-8811. PMID 12291560. 
  7. ^ "Changing Sex or Changing Gender in Pāli Buddhist Literature". The Scholar & Feminist Online (dalam bahasa Inggris). 2017-03-26. Diakses tanggal 2024-04-04. 
  8. ^ "Cunda Kammaraputta Sutta" [To Cunda the Silversmith]. Translated from the Pali by Thanissaro Bhikkhu. Access to Insight. 1997. AN 10.176. Diakses tanggal 2011-03-14. Abandoning sensual misconduct, he abstains from sensual misconduct. He does not get sexually involved with those who are protected by their mothers, their fathers, their brothers, their sisters, their relatives, or their Dhamma; those with husbands, those who entail punishments, or even those crowned with flowers by another man 
  9. ^ a b 優婆塞經 Diarsipkan 2017-02-18 di Wayback Machine.(Upāsaka Sutra from Madhyam āgama):復次,舍梨子!白衣聖弟子離邪婬、斷邪婬,彼或有父所護,或母所護,或父母所護,或兄弟所護,或姉妹所護,或婦父母所護,或親親所護,或同姓所護,或為他婦女,有鞭罰恐怖,及有名雇債至華鬘親,不犯如是女。彼於邪淫淨除其心,白衣聖弟子善護行,此第三法
  10. ^ a b * Ajahn Punnadhammo. "Same Sex Marriage". The lay man is told to abstain from sex with "unsuitable partners" defined as girls underage, women betrothed or married and women who have taken vows of religious celibacy. This is clear, sound advice and seems to suggest that sexual misconduct is that which would disrupt existing family or love relationships. This is consonant with the general Buddhist principle that that which causes suffering for oneself or others is unethical behaviour. ("Unskillful behaviour" would be closer to the original.) There is no good reason to assume that homosexual relations which do not violate this principle should be treated differently. 
    • Somdet Phra Buddhaghosacariya (1993). Uposatha Sila The Eight-Precept Observance. There are four factors of the third precept (kamesu micchacara)
    1. agamaniya vatthu — that which should not be visited (the 20 groups of women).
    2. asmim sevana-cittam — the intention to have intercourse with anyone included in the above-mentioned groups.
    3. sevanap-payogo — the effort at sexual intercourse.
    4. maggena maggappatipatti — sexual contact through that adhivasanam effort.
    • Bhikkhu Bodhi (1981). Going for Refuge & Taking the Precepts (The Five Precepts). Buddhist Publication Society. 
  11. ^ "LankaWeb – The Psychological Impact of Homophobia in Sri Lanka" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-04-04. 
  12. ^ Nakano, Tenshin (1981). "A Study of the Upasakajanalankara". Journal of Indian and Buddhist Studies (indogaku Bukkyogaku Kenkyu). 30 (1): 122–123. doi:10.4259/ibk.30.122. 
  13. ^ Young, Jonathan (August 31, 2011) (dalam bahasa en-US). Adornments Of Virtue: The Production Of Lay Buddhist Virtuosity In The Upasakajanalankara (Tesis). https://hdl.handle.net/1813/30661. Diakses pada June 15, 2024. 
  14. ^ James William Coleman, The New Buddhism: The Western Transformation of an Ancient Tradition. Oxford University Press 2002, page 146.
  15. ^ See, for example, the Pandakavatthu section of the Mahavagga. 1:61, 68, 69.
  16. ^ Peter Harvey, An Introduction to Buddhist Ethics. Cambridge University Press, 2000, page 390. Quoting Sponberg 1992, 13–18.
  17. ^ The Pali Text Society Pali-English Dictionary defines ubhatobyanjanaka as "Having the characteristics of both sexes, hermaphrodite". Rhys Davids, T. W. & William Stede (eds.), Pali-English Dictionary, Oriental Books Reprint Corporation, New Delhi, 1975.
  18. ^ Harvey, op cit, pages 412–413; the bad can be found at Vin. I.89; Vin. II.271.
  19. ^ Through the Yellow Gate Ordination of Gender-Nonconforming People in the Buddhist Vinaya by Ven. Vimala
  20. ^ Harvey, Peter (2000). An Introduction to Buddhist Ethics: Foundations, Values and Issues, Cambridge press. p.416. ISBN 978-0-521-55640-8, ISBN 0-521-55640-6
  21. ^ Damien Keown, in Routledge Encyclopedia of Buddhism, page 683.
  22. ^ Vinaya: Mahavagga, 1:71, 76.
  23. ^ Vinaya, Vol. 4, pp. 141–142
  24. ^ Harvey, Peter. An Introduction to Buddhist Ethics, Cambridge University Press, 2000, pages 415f.
  25. ^ Through the Yellow Gate Ordination of Gender-Nonconforming People in the Buddhist Vinaya by Ven. Vimala
  26. ^ Milinda Panha, 100 BC. p. 310.
  27. ^ Milinda Panha: There are nine kinds of people, Nâgasena, who let out a secret that has been talked over with them, and treasure it not up in their hearts. And who are the nine? The lustful man reveals it in obedience to some lust, the ill-tempered man in consequence of some ill-will, the deluded man under some mistake. The timid man reveals it through fear, and the man greedy for gain to get something out of it. A woman reveals it through "infirmity", an alcoholic in his eagerness for drink, a eunuch (Paṇḍaka) because of their "imperfection", and a child through fickleness.
  28. ^ Bunmi Methangkun, head of the traditionalist Abhidhamma Foundation in Thailand, describes two types of hermaphrodites, namely, female (Pali: itthi-ubhatobyan janaka) and male (Pali: purisa-ubhatobyanjanaka). According to Bunmi, an itthi-ubhatobyanjanaka is physically female, including having normal female genitals, but when physically attracted to another woman, "her previously female mind disappears and changes instead into the mind of a man, and at the same time male genitals appear while her female genitals disappear and she is able to have sexual intercourse with that woman." (Bunmi Methangkun, Khon Pen Kathoey Dai Yang-rai (How Can People Be Kathoeys?), Abhidhamma Foundation, Bangkok, 2529 (1986).)
  29. ^ Zwilling, Leonard (1992). "Homosexuality As Seen In Indian Buddhist Texts", in Cabezon, Jose Ignacio, Ed., Buddhism, Sexuality & Gender, State University of New York. p. 206.
  30. ^ a b Janet Gyatso (2016). Karen Derris; Natalie Gummer, ed. Defining Buddhism(s): A Reader(One plus one makes three: Buddhist gender, monasticism, and the law of the non-excluded middle). Routledge. ISBN 9781134937325. neither pandaka or ma ning are code words for homosexuality as such, as some have argued, and in any event same-sex sex is not singled out as distinct from other kinds of proscribed sexual activity in the Vinaya....It seems that people who desire conventional homosexual sex, whatever that might be, can be ordained and can stay ordained as long as they do not actually have sex. Exactly the same would be true for people with heterosexual desire. Zwilling destroys his own argument that pandakas are homosexuals when he writes, "The Vinaya, in fact, goes so far as to distinguish sexual activity between normative males from sexual relations between a socially normative male and a pandaka." 
  31. ^ Zwilling, Leonard (1992). "Homosexuality As Seen In Indian Buddhist Texts", in Cabezon, Jose Ignacio, Ed., Buddhism, Sexuality & Gender, State University of New York. Pp. 203–214.
  32. ^ Paisarn Likhitpreechakul, Paisarn (2012). "Semen, Viagra and Pandaka: Ancient Endocrinology and Modern Day Discrimination". Journal of the Oxford Centre for Buddhist Studies. 3. 
  33. ^ Harvey, Peter (2000). An Introduction to Buddhist Ethics: Foundations, Values and Issues, Cambridge press. p.416. ISBN 978-0-521-55640-8, ISBN 0-521-55640-6
  34. ^ "Thig 15.1: Isidāsītherīgāthā". SuttaCentral (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-06-23. 36.3-36.4: Yobbanamadena matto, so paradāraṁ asevihaṁ, yang artinya Drunk on the pride of youth, I had sex with someone else’s wife. 
  35. ^ For example, the Pravrajyantaraya Sutra, or the 7th century Ta-ch'eng tsao-hsiang kung-te sutra. In the latter, a man "with the lusts and desires of a woman, [who] enjoys being treated as a woman by other men" despised other men or enjoyed dressing as a woman in a previous life.
  36. ^ Bhikkhunī, Ven Vimala. "Through the Yellow Gate: Ordination of Gender-Nonconforming People in the Buddhist Vinaya". 
  37. ^ a b Peter Harvey, An Introduction to Buddhist Ethics. Cambridge University Press, 2000, page 390. Quoting Sponberg 1992, 13–18.
  38. ^ Jackson, Peter A. (1998). "Male Homosexuality and Transgenderism in the Thai Buddhist Tradition". In Queer Dharma: Voices of Gay Buddhists, edited by Winston Leyland. San Francisco : Gay Sunshine Press. ISBN 0-940567-22-9
  39. ^ a b Mahavagga 1.69, 38.5.
  40. ^ Ref from Gyatso (2003): For example, Visuddhimagga 5.40–42 (translated in Bhadantacariya Buddhaghosa, The Path of Purification, trans. Bhikkhu Nyanamoli, 2 vols. [Berkeley: Shambhala, 1976]) avers that both hermaphrodites and pandakas are among those who cannot develop kasina concentration, of indeed any kind of meditation at all, due to their defilement and bad kamma. Abhidharmakosabhasya 4.43 also asserts that neither pandakas or sandahas are subject to any of the three disciplines (from verse 13: those of monasticism, meditation, and the pure path), nor indeed the absence thereof.
  41. ^ Milinda Panha, 100 BC. p. 310.
  42. ^ a b c d e Jackson, Peter (December 1995). "Thai Buddhist accounts of male homosexuality and AIDS in the 1980s". The Australian Journal of Anthropology. 6 (3): 140–153. Diarsipkan dari versi asli tanggal August 24, 2000. Diakses tanggal June 15, 2024. 
  43. ^ Khamhuno. 1989 (B.E. 2532). Gay Praakot Nai Wongkaan Song ("Gays Appear in Sangha Circles"). Sangkhom Saatsanaa (Religion and Society Column). Siam Rath Sut-sapdaa (Siam Rath Weekly), November 18, 1989 (B.E. 2532). 36 (22):37–38.
  44. ^ Hacker, Peter (2003). "Buddhism Grapples With Homosexuality". 365 Gay. Diarsipkan dari versi asli tanggal September 8, 2005. Diakses tanggal June 15, 2024. 
  45. ^ "Young monks struggle with gender issues". Bangkok Post. Diakses tanggal 2021-02-04. 
  46. ^ Chandran, Rina (2020-08-21). "'LGBT people are also humans': Thai Buddhist monk backs equality". Reuters (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-02-04. 
  47. ^ "Stances of Faiths on LGBTQ+ Issues: Buddhism". Human Rights Campaign. Diarsipkan dari versi asli tanggal December 22, 2015. Diakses tanggal June 15, 2024. 
  48. ^ "Social Acceptability of Gay Monks in Thai Theravada Tradition". Diarsipkan dari versi asli tanggal June 4, 2021. Diakses tanggal June 15, 2024 – via CMUIR. 
Ikon rintisan

Artikel bertopik Agama Buddha ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s